ASPEK
HUKUM INTERNET
Aplikasi internet
sendiri sesungguhnya memiliki aspek hukum. Aspek tersebut meliputi aspek hak
cipta, aspek merek dagang, aspek fitnah dan pencemaran nama baik, aspek
privasi.
1. Aspek
Hak Cipta
Hak cipta yang sudah
diatur dalam UU Hak Cipta. Aplikasi internet seperti website dan email
membutuhkan perlindungan hak cipta. Publik beranggapan bahwa informasi yang
tersebdia di internet bebas untuk di-download, diubah, dan diperbanyak.
Ketidakjelasan mengenai prosedur dan pengurusan hak cipta aplikasi internet
masih banyak terjadi.
2. Aspek
Merek Dagang
Aspek Merek Dagang ini
meliputi identifikasi dan membedakan suatu sumber barang dan jasa, yang diatur
dalam UU Merek.
3. Aspek
Fitnah dan Pencemaran Nama Baik
Hal ini meliputi
gangguan atau pelanggaran terhadap reputasi seseorang, berupa pertanyaan yang
salah, fitnah, pencemaran nama baik, mengejek, dan penghinaan. Walau semua
tindakan tadi dilakukan dengan menggunakan aplikasi internet, namun tetap tidak
menghilangkan tanggung jawab hukum bagi pelakunya. Jangan karena melakukan
fitnah atau sekedar olok-olok di email atau chat room maka kita bebas
melenggang tanpa rasa bersalah. Ada korban dari perbuatan kita yang tak
segan-segan menggambil tindakan hukum.
4. Aspek
Privasi
Di banyak negara maju
dimana komputer dan internet sudah diaskes oleh mayoritas warganya, privasi
menjadi masalah tersendiri. Makin seseorang menggantungkan pekerjaannya kepada
komputer, makin tinggi pula privasi yang dibutuhkannya. Ada beberapa persoalan
yang bisa muncul dari hal privasi ini. Pertama, informasi personal apa saja
yang dapat diberikan kepada orang lain? Lalu apa sajakah pesan informasi
pribadi yang tidak
perlu diakses orang
lain? Apakah dan bagaimana dengan pengiriman informasi pribadi yang anonim.
ASAS-ASAS YURIDIKSI
Dalam
ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum
dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan
perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat
transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.
Menurut Darrel Menthe, dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis
yuridikasi, yaitu:
1. Yuridiksi
untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe)
2. Yuridiksi
untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce)
3. Yuridiksi
untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)
Dalam
kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal beberapa asa yang biasa
digunakan, yaitu:
1. Subjective
territoriality : Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasakan
tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di
negara lain.
2. Objective
territoriality : Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi negara yang bersangkutan
3. Nationality
: Menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum
berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4. Passive
nationality : Menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5. Protective
principle : Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk
melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya,
yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
6. Universality
: asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest
jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap Negara berhak
unutk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dll. Meskipun di
masa mendatang asas yuridiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet
piracy, seperti komputer, cracking, carding, hacking dan virus. Namun perlu
dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan
sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hokum internasional. Oleh karena
itu, untuk ruang cyber, dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan
yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang
cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens
dan passwords. Secara radikal, ruang cyber teklah mengubah hubungan antara
legally signifikan (online) phenomena dan physical location.
0 komentar:
Posting Komentar